Kembali Bertemu

| Kamis, 25 Februari 2010


“Go aka! Go aka! Go..!”
Prak…prak…prak…prak…prak…
Ao…! Ao…!”
Dum…dum…dum…dum…dum…
Suara seruan penonton ataupun pendukung masing-masing tim dari atas tribun menggelegar di dalam GOR Kediri. Terdengar suara teriakan juga drum band yang dibawa oleh tim pendukung. Ini merupakan pertandingan Kejuaraan Karate Piala Walikota Kediri yang diselenggarakan FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia) Kediri. Ketegangan terasa dari peserta masing-masing tim yaitu, Tim Aka (merah) dan Tim Ao (biru). Beberapa kota di Jawa Timur mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti kejuaraan ini. Mungkin ada kebanggaan tersendiri karena terpilih menjadi perwakilan untuk mengikuti pertandingan ini. Rasa senang, tegang dan berdebar itulah yang dirasakan para peserta. Kesibukan tersendiri dan persiapan yang dilakukan sebelum pertandingan juga terlihat di masing-masing perwakilan yang dikirim daerah.

“Ayo semua! Kita sama-sama berusaha dan berjuang. Kita tidak boleh kalah dari daerah lainnya,” sang official dari salah satu tim memberi semangat. Mereka menyatukan tangan kemudian berteriak, “Semangat!”
Suara penonton semakin bertambah riuh. Semakin bersemangat mereka mendukung tim yang akan bertanding.
“Kejuaraan Karate Piala Walikota Kediri segera dimulai. Mohon bersiap-siap peserta [1]Kumite Perorangan Putra. Di sudut pita merah, Arista Nugraha. Dan di sudut pita biru, Raden Pratama,” terdengar suara panitia akan memulai pertandingan.
“Den!” seseorang yang dipanggil Den itu menoleh.
Ada apa, Kak Bayu?”
“Siap-siap kamu. Jangan lengah!” sang official memberi pengarahan dan menepuk punggungnya. Raden pun hanya menghela napas dalam-dalam. Kemudian, tegas menjawab “Iya.”
“Pertandingan segera dimulai. Silahkan peserta berada di arena.” Kedua peserta maju bersamaan ke matras dan memberi hormat kepada juri, “Osh!”
Serentak penonton terdiam. Hampir tak ada yang bersuara. Kemudian, kedua peserta saling membungkukan badan, memberi hormat. Sang juri pemimpin pertandingan bersiap-siap berdiri di tengah matras.
Shahobu hajime![2]” teriak sang juri. Sontak, penonton bersorak. Mendukung peserta jagoan mereka.
“Aku yakin pasti pemenangnya yang bersabuk merah.”
“Salah. Yang menang pastinya bersabuk biru. Aku yakin sekali.” Penonton hanya bisa menebak-nebak siapa pemenangnya. Terlihat sekali pertandingan itu begitu seru dan menegangkan. Tapi, sepertinya tidak sesuai rencana. Sesuatu terjadi! Penonton terkejut melihat kejadian itu.
Brakk!!
“Raden!!” teriak Kak Bayu.
***
3 hari sebelum pertandingan…
Jalanan kota Pasuruan masih tidak begitu ramai. Hanya sedikit kendaraan bermotor yang lewat. Tapi, banyak terlihat orang-orang yang keluar rumah sekedar berjalan-jalan pagi atau pun lari pagi. Beberapa ternyata atlit-atlit cabang olahraga yang tengah mencari udara segar pagi.
Terlihat dari kejauhan seorang lelaki yang tengah berjalan-jalan pagi bersama dengan seorang gadis. Mereka terlihat akrab. Terlihat dari cara mereka berbincang-bincang maupun bergurau.
“Kak, kapan pertandingannya? Kalau gak salah kata Kak Bayu, di Kediri kan?”
“Iya, tinggal 3 hari lagi. Memangnya kenapa? Kamu ingin ikut?”
“Mau..mau.. Arin ingin ikut. Tapi, sayangnya aku bukan tim inti,” keluh gadis itu.
“Kamu bisa aja dipilih masuk tim inti sama Kak Bayu. Asalkan, latihan yang rajin. Terus, jangan sering bercanda waktu latihan. Yang serius toh, nduk!”
“Iya…iya…Pak Raden!”
“Lho, kok panggil ‘pak’?” lelaki yang bernama Raden itu langsung tersindir.
“Salah sendiri! Diriku dipanggil ‘nduk’. Berarti kan, yang panggil aku kayak gitu dipanggil ‘pak’. Weeeek!” ejek Arin.
“Hem…awas kamu yah…!! Waktu latihan aku hukum biar tahu rasa kamu.”
“Silahkan kalau berani. Siapa takut?” Arin langsung berlari menghindar takut akan kejaran Raden.
“Hey! Katanya gak takut? Kok lari menghindar gitu?”
“Hi……….! Takut aku. Hahahahaha..” tawa lepas Arin membuat Raden mengejarnya.
“Awas ya! Kutangkap kamu!”
“Coba aja kalau bisa!”
Sepanjang jalan, mereka hanya terus bergurau. Saling mengejek satu sama lain. Tak terasa, mereka akan berpisah karena jalan menuju rumah mereka berbeda arah.
“Sampai bertemu latihan nanti ya, Arin.”
“Iya, pak.”
“Kok gitu? Mulai lagi.”
“Maaf, maksudku kak. Salah bicara,” ujar Arin sambil tersenyum.
“Dasar! Hati-hati di jalan.” Dari kejauhan, Arin melihat tubuh Raden yang masih berdiri. Setelah itu, sesosok tubuh itu tak terlihat. Menghilang di ujung jalan. Suatu ketika dalam perjalanan pulang, Arin melewati sebuah rumah dan mendengar lagu yang sudah tak asing ditelinganya. Ia berhenti sejenak mendengarkan lagu yang dinyanyikan Sherina itu.
Apakah sama jadinya bila bukan kamu?
Namun, senyummu menyadarkanku…
Lagu itu berhenti, mungkin karena sang pemilik rumah mematikan lagunya. Arin hanya tersenyum. Ia kembali berjalan.
“Kau cinta pertama dan terakhirku,” lanjut Arin dalam hati.
***
Pagi ini memang ada latihan karate. Hampir saja, Raden terlambat. Bukan hampir lagi, melainkan sudah terlambat. Latihan dimulai pukul 8 pagi. Tapi, Raden tiba di tempat latihan pukul 8. 30. Hanya terlambat setengah jam saja, pikirnya. Setelah melihat sekeliling, matanya tertuju pada satu sosok. Arin. Dia sudah datang rupanya. Dalam hatinya, Raden tersenyum. Tiba-tiba, seseorang memukul keras perutnya. Terlambat untuk menghindar, perut Raden menjadi sasaran empuk. Bukk!!
“Hey! Dari mana kok baru datang? Bangun tidur ya?”
“Dari rumah, Kak Bayu. Antar Ibu dulu ke rumah Eyang.”
“Alaah…! Alasan kamu itu. Cepat ganti baju tuh. Ikut pemanasan.”
“Iya.”
Sambil meringis kesakitan, Raden bergegas berganti pakaian. Arin menahan tawanya melihat kejadian barusan. Rasain tuh! pikir Arin. Raden yang merasa dirinya dimata-matai dari kejauhan langsung melihat ke arah Arin dengan menunjukkan muka sebal. Semakin terkikik Arin melihat raut muka Raden. Lihat saja nanti! batin Raden.
Selama latihan, tak henti-hentinya perbuatan jahil Raden pada Arin. Betapa jengkelnya Arin saat itu. Belum puas Raden menjahili Arin. Hingga akhirnya, Arin mencari perlindungan.
[3]Senpai Bayu…! Kak Raden lho..!” Sang tersangka hanya diam. Berpura-pura tak mengerti sambil tersenyum.
“Apa, rin? Kamu tuh kurang kerjaan teriak-teriak. Balas sana!” celoteh Senpai Bayu.
“Kak Raden menyebalkan! Huh..!” Arin beranjak pergi.
“Wuih…marah! Bercanda kok. Hihihi…” bujuk Raden.
“Gag peduli!” teriak Arin. Selesai latihan pun Arin masih saja diam. Sepertinya dia benar-benar kesal.
“Kak Bayu, aku pulang duluan.”
“Pulang sendirian?”
“Iya.” Langsung Arin cepat-cepat mengambil sepedanya dan pergi. Raden yang merasa kalau dia keterlaluan langsung pergi menyusul Arin. Ternyata, Arin masih belum begitu jauh. Raden pun langsung mengendarai sepedanya di sebelah Arin.
“Maaf , rin. Tadi aku bercanda kok. Jangan marah ya..!”
“Kakak keterlaluan!”
“Iya..iya.. aku salah. Maaf!”
Arin hanya diam, memperhatikan jalan. Seolah-olah tidak mendengarkan Raden.
“Jangan cuek gitu!” Arin masih tidak menggubris perkataan Raden.
“Begini deh. Kamu bilang ingin apa sama aku, nanti aku belikan.”
“Serius?” wajah Arin mulai berbinar.
“Iya, serius.”
“Aku minta souvenir waktu kakak ke Kediri.”
“Baik. Gampang tuh!”
“Awas kalau lupa!”
“Tenang deh..! Ternyata, harus disogok dulu baru tersenyum. Hihihi… ”
“Eh..! Aku belum memaafkan dirimu.”
“Jangan marah lagi! Nanti kubawakan souvenirnya. Ok?”
“Ok.”
***
Raden langsung roboh setelah mendapat tendangan dari lawannya. Dia benar-benar kesakitan.
“Raden! Ayo berdiri! Lompat! Teriak yang keras!” perintah Kak Bayu. Dia berusaha untuk berdiri, melakukan perintah Kak Bayu. Jika tidak, dia bisa kalah. Setelah mencoba saran Kak Bayu, dia merasa agak mendingan. Tiba-tiba, pandangannya kabur. Gelap. Dan langsung jatuh pingsan. Brukk!! “Raden!! Medis, cepat!” Kak Bayu benar-benar kebingungan. Setengah sadar, Raden hanya melihat para medis yang merawatnya. Lalu, dia benar-benar kehilangan kesadaran.
Setelah hampir 3 jam pingsan, Raden pun sadar. Dia dalam keadaan memakai selang oksigen di hidungnya. Terakhir yang dia ingat adalah teriakan Kak Bayu dan setelah itu dia tak sadarkan diri. Kak Bayu menghampirinya.
“Sudah sadar kamu? Hampir 3 jam kamu pingsan.”
“Wuih…lama… Yang lain gimana?”
“Banyak yang dapat. Kita dapat 8 medali.”
“Oh… syukur kalau gitu.”
“Gag usah kecewa kamu. Toh masih banyak pertandingannya. Kamu sudah berusaha tadi.”
“Iya. Terima kasih, kak.”
***
Hari ini, tim yang dikirim ke Kediri telah pulang kembali ke Pasuruan. Arin mengetahui hal tersebut dan dia telah diberitahu kalau Raden pingsan waktu bertanding. Sempat Arin kebingungan. Tapi, ditepisnya pikiran buruk mengenai keadaan Raden.
Click..
Ada satu pesan masuk di handphone Arin. Ternyata, pesan dari Raden. Arin terkejut. Cepat-cepat ia membaca pesan itu.
Arin, kamu ke warnet Afie. Kutunggu…
Pesan yang singkat tapi jelas. Bergegas Arin menuju warnet yang dimaksud. Dalam hatinya, ia terus kebingungan. Apa yang harus kubicarakan jika bertemu dengan Raden? Aku juga harus bersikap seperti apa? Apa keadaannya baik-baik saja?
Akhirnya, Arin tiba di tempat tersebut. Dan mendapati Raden tengah duduk di depan salah satu komputer. Arin langsung menghampiri.
“Kakak, baik-baik aja kan? Udah nggak sakit?”
“Masih sakit. Perutku masih kram. Buat napas udah sakit.” Agak lama Raden menjawab pertanyaan Arin karena menahan sakit.
“Tapi, kok ngajak ke warnet? Malah nggak istirahat toh di rumah?”
“Males. Di rumah sepi.”
Sebenarnya, Raden ingin menjawab pertanyaan Arin, Ingin ketemu kamu. Tapi, ia urungkan niatnya. Arin malah merasa dia tak dianggap karena Raden hanya diam sambil memperhatikan komputer. Setelah mereka berdiam cukup lama, Raden mengambil sesuatu dari sakunya kemudian memberikannya pada Arin.
“Ini titipanmu.”
“Wah…. Lucu sekali gantungan hp-nya!”
“Kemarin kubeli waktu di Kediri.” Arin terkejut mendengar tuturan Raden. Dia masih ingat, pikir Arin.
“Trims, kak. Aku nggak terpikir sama sekali kalau kakak masih ingat waktu itu.”
“Tentu, aku selalu mengingatnya. Hem…cepat pasang tuh di hp-mu!” Raden langsung mengalihkan pembicaraan.
“Apa? Nanti di rumah aja. Susah.”
“Bisa kok. Sini! Aku yang pasang.”
Mereka berdua tersenyum senang saat itu. Arin lega telah bertemu dengan Raden dan sepertinya Raden juga merasakan hal yang sama. Dan tu menjadi rahasia hati mereka sendiri.
***
[1]Kumite, merupakan perkelahian dalam karate
[2]Shahobu hajime! artinya, pertandingan dimulai!
[3]Senpai, dalam bahasa Jepang yang berarti “kakak kelas”.

The End ^_^

By : Karin

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲