Nyanyian Hati

| Selasa, 04 Oktober 2011

            
             Hari ini bertepatan dengan hari ulang tahun si kembar, Fino dan Fira. Tapi, mereka berdua merasa tidak ada yang mengingat hari penting itu. Bukankah hari dimana mereka bertambah umur setidaknya orang tua mereka mengucapkan kalimat “Selamat Ulang Tahun?” Buktinya, tidak sama sekali.
            “Hei, Fino? Menurutmu, Papa dan Mama benar-benar lupa hari ulang tahun kita?” Fira mengerutkan dahinya sambil berwajah sebal. Fino yang sedari tadi juga memikirkan hal yang sama memberikan reaksi atas pertanyaan saudarinya. “Apa menurutmu begitu?” Fino memasang wajah tenangnya seperti biasa. “Lho, kenapa malah balik bertanya?” Fira semakin kesal dan melayang sebuah bantal tepat ke arah Fino.
            BUKK!
            “Aww! Sakit tahu! Kenapa harus melempar bantal segala?!” Fino mengelus kepalanya. “Sudahlah! Menyebalkan. Percuma cerita ke kamu. Bisa-bisa, aku yang jadi tambah kesal,” Fino melirik saudarinya yang tengah cemberut.
            “Terserah kau sajalah. Tunggu sebentar, aku ingat sesuatu,” Fino bangkit dari tempat tidurnya. “Ini dia,” Fino mengangkat selembar kertas berwarna kuning muda yang telah menarik perhatian Fira. “Eh, apa itu? Sini, berikan padaku!” Fira merebut kertas yang ada di tangan Fino.
            “Pelan-pelan dong! Kasar sekali,” sindiran itu rupanya tak mempan bagi Fira. “Berisik ah! Kertasnya gak sobek sedikitpun kok,” Fino hanya memutar bola matanya sebagai jawaban. Fira tengah memperhatikan baik-baik tulisan di kertas itu.
  
KEGIATAN KEMAH AKHIR PEKAN
Ekskul Pecinta Alam akan mengadakan kegiatan berkemah pada akhir pekan minggu ini. Anggota ataupun non-anggota bisa berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Ingin mendaftar?
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi :
Seno (081937456122) atau Yeni (085547810137)

“Ayo, kita ikut!” Fira melambai – lambaikan kertasnya sambil melompat kegirangan. “Ayo kita bilang sama Papa dan Mama! Kita akan pergi berkemah, hore!” Fira terus saja melompat – lompat di atas tempat tidurnya.
“Hei, Papa sama Mama gak segampang itu bilang ‘IYA’. Makanya, jangan senang dulu!” Gantian Fino yang melempar bantal ke arah Fira.
BUKK!
“Weeek! Meleset tuh,” Fira cekikikan melihat wajah kesal Fino. “Umm, baiklah. Nanti aku bilang sama Papa, terus kau yang bilang sama Mama, setuju?” Fira melingkarkan 2 jemari tangan kanannya membentuk huruf O.
Aku tidak yakin boleh deh,” Fino memasang wajah ragu – ragu. Dua detik kemudian, pipi Fino memerah akibat dicubit keras oleh saudarinya.
 ***
            “Lho, sepi, kemana Papa sama Mama?” Fira mengintip dari pintu kamarnya. “Kurasa mereka sudah pulang, aku sempat mendengar suara Mama kok,” Fino ikut mengintip di belakang saudarinya. Mereka berdua berjalan menuju ruang makan. Tepat di atas meja makan, sebuah kotak besar berwarna jingga dengan pita putih yang menempel. Sungguh rapi dan terkesan apik.
            Mereka berdua saling berpandangan tak mengerti. Kemudian, Fino memegang kotaknya dan Fira yang membuka pitanya. Saat kotaknya telah terbuka, mereka berdua terkejut.
            “Ini?” Fira yang terpesona dengan isi kotaknya hanya terdiam, tak bisa berkata apapun. Fino juga terdiam dan membaca kata – kata yang tertulis di atas kue tar cokelat dengan hiasan krim putih di sekitarnya.
“Selamat Ulang Tahun ke 14 – Fino & Fira…” Baru selesai Fino membacanya, Mama dan Papa mereka muncul dari tangga sambil tersenyum dan menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun.’
“Selamat ulang tahun…selamat ulang tahun…selamat untuk Fino – Fira…Selamat Ulang Tahun,” Si kembar yang sedari tadi terdiam berlari memeluk kedua orang tua mereka.
“Selamat untuk kalian berdua, Fino dan Fira,” Mama mengecup kening mereka. Fira tersipu malu mendengar ucapan Mama.
“Sekarang kalian tambah besar yah? Jadilah anak yang baik,” Papa mengacak – acak rambut Fino dan memeluk Fira. “Ah, Papa, jangan acak – acak rambut Fino terus,” Fino menggerutu lalu merapikan rambutnya kembali. Papa dan Mama tertawa mendengar omelan Fino. Tiba – tiba, Fira angkat bicara, “Maafin Fira yah, Fira kira Mama sama Papa lupa ulang tahun kami.”
“Berarti, rencana Mama sama Papa berhasil donk? Haha,” Papa tertawa sambil memegangi perutnya. “Huh, Papa!!” Fino dan Fira berkoor protes. “Sudah, sudah. Waktunya tiup lilin!” Mama menengahi pembicaraan mereka kemudian, mengambil lilin berangka satu dan empat yang tadi telah dibelinya di toko swalayan. Sekarang, di atas kue tar telah terpasang dua lilin angka yang menyala.
”Tiup lilinnya…tiup lilinnya…tiup lilinnya sekarang juga…sekarang juga…sekarang juga…”
Fino dan Fira memejamkan mata, mengucapkan permohonan. Sedetik berikutnya, lilin yang menyala tadi telah memgeluarkan asap. Papa dan Mama bertepuk tangan senang, lalu memeluk si kembar.
 ***
“Fino udah bilang sama Mama?” Fira memulai pembicaraan. “Tentang apa?” Fino memasang muka bingung. “Oh, tentang kemah itu kan?”
“Kenapa bisa sampai lupa sih?” Fira menggaruk kepalanya yang dirasanya tidak gatal. “Jadi, udah bilang?”
“Umm..belum, kau sendiri belum bilang sama Papa kan?” Fino balik melempar pertanyaan ke Fira. “Memang belum. Hash…” Fira mencak – mencak di pinggir jalan. Untunglah, jalanan di sekitar perumahan mereka sepi. Apalagi, siang hari seperti ini saat matahari berada di atas kepala. Setidaknya, tidak ada yang melihat perbuatan Fira yang mencak – mencak tanpa sebab.
“Pokoknya, aku gak mau akhir pekan terus – menerus di rumah. Bosan!” Mendengar omelan saudarinya, Fino menghela napas. Dengan maksud, membenarkan perkataan Fira.
Lima belas menit kemudian, si kembar telah duduk berhadapan dengan orang tua mereka. Pelan – pelan, mereka menjelaskan maksud mereka. Papa berwajah serius sambil memandangi bergantian putra – putrinya, sedangkan Mama berwajah gelisah mendengar tuturan langsung dari si kembar.
“Jadi, mohon berikan kami ijin untuk pergi,” Fino mengakhiri presentasi yang dilakukannya di hadapan orang tua mereka bersama Fira. Papa masih memandangi mereka berdua.
“Ehem..” Papa mulai menyusun kata – kata, “Begini, Papa tahu kalau kalian sudah bukan anak kecil lagi, tetapi . . .” Kalimat Papa terhenti beberapa saat, ”apa kalian yakin bisa menjaga diri?”
Fino yang langsung mengerti arah pembicaraan yang dimaksud memantapkan perkataannya, “Fino dan Fira janji akan mengikuti instruksi yang diberikan oleh guru pendamping. Terus, Fino sama Fira akan ijin dulu sebelum pergi pada guru pendamping. Janji gak maen jauh – jauh di dalam hutan,” mendengar kata ‘hutan’ disebut Mama berwajah cemas dan sikapnya tidak tenang. Papa merangkul bahu Mama, “Kita harus percaya sama mereka.”
***

Tempat yang disebut – sebut sebagai hutan memang familiar dengan hal yang bersangkutan dengan binatang buas. Sepertinya si kembar – Fino dan Fira – tidak begitu memusingkan masalah semacam itu. Setelah berjalan jauh dari kaki gunung, akhirnya sekumpulan para pecinta alam atau bisa disebut rombongan Fino & Fira cs sampai di area berkemah. Setelah selesai dengan mendirikan tenda, mencari kayu bakar, dan sebagainya, Fino memeriksa jam tangannya yang hampir menunjukkan pukul enam sore.
“Fino…” cara Fira memanggil Fino tidak seperti biasanya. Fino yang mendapati suara Fira yang sedikit menggigil memegangi kedua pundaknya agar menenangkan perasaan Fira.
”Ada apa? Kenapa malah takut? Bukannya dari awal kamu yang terus memaksa ikut berkemah?” Fino berusaha mengontrol nada bicaranya supaya tidak terlihat sedang mengejek saudarinya. “Tadi ada yang bercerita padaku. Katanya saat bulan bersinar penuh, sering terdengar tangisan lirih seorang wanita,” Fira menggigit bibir bawahnya. “Dan malam ini tepat bulan akan bersinar penuh…”
“Lalu, kau percaya begitu saja?” Kata – kata Fino tercerna dalam otak kembarannya. “Te…tentu saja, tidak. Tidak secara langsung,” Fira memandang ke arah lain dengan tujuan menutupi rasa takutnya.
“Tenanglah, ada aku disini. Ok?” Fino membulatkan dua jemari kanannya hingga Fira dibuatnya tersenyum.
            “Ayo semuanya kita berkumpul!” Teriakan dari salah seorang guru pendamping mengakhiri percakapan mereka. Para rombongan telah berkumpul di sekitar api unggun yang menyala sambil duduk melingkar. Diawali dengan memperkenalkan diri masing – masing kepada semua yang hadir disana, makan bersama, bertepuk tangan dan bernyanyi dengan gembira. Lalu, seorang senior membacakan jadwal malam ini hingga untuk esoknya.
“Baiklah, sekarang waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Saatnya permainan!” Mendengar hal itu, Fira berkeringat dingin. Takut akan hal – hal yang dipikirkannya sejak tadi. Gelap dan hantu. “Oke, permainan ini bisa disebut Jelajah Malam. Pesertanya satu tim dengan beranggotakan dua orang. Selanjutnya, saya akan membacakan peraturannya serta benda apa saja yang boleh dibawa. . .”
***

“Fira…Fira…” Fino menggoyangkan bahu Fira. “Kau tidak apa - apa?” Fira yang terbengong dari tadi hanya menjawab dengan anggukan kepala. “Kau masih memikirkan masalah hantu itu? Tenanglah, kita tidak akan tersesat,” Fino mengeluarkan secarik kertas yang berisi petunjuk menemukan jalan keluar beserta benda yang mereka cari dalam permainan ini. Terlihat ekspresi Fira yang sedikit tenang.
Mereka berdua memasuki hutan yang tidak terlalu gelap karena adanya sinar bulan yang menerobos masuk melalui celah – celah di antara dedaunan pohon. “Bulannya…bersinar penuh,” Fira berkata lirih sambil mencekal lengan Fino erat – erat.
“Eh, jangan keras – keras! Sakit!” Fino meringis sambil menunjukkan cekalan tangan Fira. “Uups, maaf,” Fira melonggarkan cekalannya. Sunyi senyap, yang terdengar hanya bunyi serangga – serangga kecil dan beberapa makhluk malam yang tampak tengah mengawasi dari jauh. Mereka terus masuk ke dalam hutan, lalu Fino merasakan ada yang aneh dengan jalan yang mereka lewati.
“Ke..kenapa? Kita sudah melewati jalan ini berkali – kali. Berbeda dengan yang ada di petunjuk, aneh.” Fira menggigil sambil berkata, “Jangan berkata kalau kita tersesat!” Fino mengggeleng kepalanya, “Seharusnya, tidak. Aku sudah melihat betul petunjuknya.”
“A...apa? Bagaimana ini bisa terjadi?” Mata Fira memerah akibat menahan air matanya. “Aku sendiri tidak…” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara seorang wanita yang menyanyi dengan merdu. Mereka berdua terdiam.
“Lagu ini?” Fino merasakan perasaan yang aneh, perasaan rindu pada seseorang tapi siapa? “Aku seperti pernah mendengarnya,” Fira tak kalah syoknya. Semakin mereka berjalan, semakin mendekati suara si penyanyi merdu.
Seorang wanita duduk di atas sebuah batu yang tak begitu besar. Menyadari ada yang sedang mendekat, wanita itu pun menghentikan nyanyiannya. Si kembar dan wanita itu saling bertukar pandang. Wanita itu tersenyum, senyuman yang rasanya pernah dilihat oleh Fino maupun Fira.
“Apa yang kalian lakukan disini? Tersesat?” Wanita itu bangkit, lalu berdiri di hadapan mereka. Fino yang tengah waspada mundur beberapa langkah dengan menggenggam tangan Fira. Meskipun, hatinya mengatakan kalau wanita itu tidak berbahaya. “Jangan takut! Kalian ikutlah denganku, di sini dingin,” wanita itu berjalan mendahului mereka. Fino dan Fira berbicara melalui tatapan mata, lalu mengangguk perlahan secara bersamaan. Mereka berdua mengikuti wanita itu ke sebuah rumah kayu. “Silahkan, anggap ini rumah sendiri,” wanita itu mempersilahkan mereka masuk. Dengan ragu – ragu, mereka memasuki rumah yang sepertinya pernah mereka datangi sebelumnya.
“Maaf, apa kami mengenalmu?” Fira berbicara pelan – pelan. Wanita tadi menggeleng lalu menyajikan dua cangkir teh hangat, “Tidak. Ini kunjungan pertama kalian. Silahkan diminum tehnya.” Si kembar hanya menurut, duduk di dekat perapian. Kemudian, meminum tehnya.
“Rasanya enak dan hangat, terima kasih,” Fira mencoba tersenyum di hadapan wanita itu. “Benarkah? Aku memasukkan sedikit madu, perasan lemon ditambah daun mint,” kata wanita itu. Fino mencoba mengontrol perasaan anehnya yang sedari tadi mengganggunya. Penampilan wanita itu memang tidak terlihat seperti orang jahat, tapi mungkin saja penampilan bisa menipu. Fino memperhatikan wanita itu dari ujung kaki hingga kepala. Lalu, sebuah pertanyaan terbesit di kepalanya.
“Apakah bibi pernah mendengar suara semacam suara tangisan saat bulan bersinar penuh? Maksudku, saat bulan purnama, pernahkah bibi mendengarnya?” Fira menyikut lengan Fino yang hanya dibalas dengan tatapan serius. “Sepertinya, tidak. Aku tidak pernah mendengar suara semacam itu. Atau mungkin…” wanita itu mengerutkan keningnya, “itu suaraku, aku sering sekali bernyanyi saat bulan bersinar indah seperti malam ini, kenapa mereka mengira itu suara tangisan?”
“Mereka?” Fira spontan melontarkan reaksinya setelah mendengar perkataan perempuan berumur hampir tiga puluh tahunan itu. “Mereka yang pernah melewati daerah ini menyangka suara tangisan yang terdengar. Tidak bisakah mereka membedakannya?” wanita itu bertampang bingung hingga si kembar menahan tawa mereka.
“Bolehkah aku bertanya sesuatu pada bibi?” mendengar suara Fira, wanita itu menoleh. “Silahkan saja, aku akan menjawab pertanyaanmu, anak manis,” kata – kata yang keluar dari mulut wanita itu seakan menyihir perasaan Fira.
“Kenapa bibi sendirian tinggal sendirian? Lalu, apa yang membuat bibi bernyanyi saat bulan purnama tiba?” wanita itu terdiam mendengar pertanyaan Fira. “Namamu siapa, manis?” Fira meminta maaf karena belum memperkenalkan diri. “Aku dipanggil Fira dan ini Fino, saudara kembarku,” wanita itu tersenyum pada dirinya sendiri. Sebelum mulai bercerita, wanita itu menghela napas panjang.
                                             ***
Disaat yang sama, para rombongan kebingungan mencari dua anggotanya yang menghilang. Tidak salah lagi, yang mereka cari adalah Fino dan Fira. Mereka telah mencari selama hampir dua jam di sekitar tempat mereka berkemah dan di pinggir hutan. Tidak ada yang berani untuk mencari di dalam hutan karena hari sudah semakin malam. Dengan terpaksa, mereka menunda pencarian sampai besok pagi. Kemudian, salah satu guru pendamping menelepon orang tua si kembar.
“Halo, benarkah ini rumah Fino dan Fira?....Maaf, dengan siapa saya berbicara?.....Ibu Riska? Umm, maksud saya, Ibu dari Fino dan Fira. Saya, selaku guru pendamping mereka, dengan menyesal ingin memberitahukan bahwa mereka…….”
Ibu Riska yang mendengar hal tersebut hampir saja pingsan. ‘Fino dan Fira menghilang? HILANG?’ kepala Ibu Riska rasanya telah copot. Beliau seperti hilang kendaliya atas pikiran dan tubuhnya sendiri. Tanpa pikir panjang, beliau mengambil jaket dan kunci mobilnya. Hanya satu yang ada di pikirannya saat itu, yaitu menuju tempat Fino dan Fira menghilang. Pak Kato yang masih di kantornya menerima telepon dari istrinya itu. Beliau tidak setuju jika Ibu Riska berangkat sendirian menuju tempat perkemahan putra – putrinya, meskipun, beliau sendiri juga khawatir terhadap keselamatan mereka. Belum sempat Pak Kato mengutarakan pendapatnya, Ibu Riska telah menutup ponselnya. Sepertinya, Ibu Riska mengetahui sesuatu mengenai tempat Fino dan Fira berada.
“Oh, jangan sampai terjadi apa – apa dengan mereka! Tolong lindungilah kedua anakku,” air mata membasahi pipi perempuan itu diiringi dengan suara deru mesin yang meninggi.
 Tidak sampai setengah jam, Ibu Riska telah sampai di pinggir hutan. Beliau menghentikan mobilnya dan langsung berlari memasuki hutan dengan membawa senter beserta ponsel di sakunya. Beliau terus berlari seakan – akan telah menghafal jalurnya. Keringat membasahi keningnya sama sekali tak beliau permasalahkan. Bulan bersinar dengan indahnya menerangi tiap langkah yang dibuat oleh Ibu Riska. Tak butuh waktu lama, terlihatlah sebuah rumah kayu yang cukup tua. ‘Benar. Tidak salah lagi, ini rumahnya’ batin Ibu Riska. Perlahan – lahan beliau memasuki rumah itu dengan waspada. Pintunya berderit ketika dibuka dan lantainya juga mengeluarkan bunyi yang sama. Sepi. Seperti tidak ada seorang pun yang pernah tinggal di rumah ini.
“Anda tampaknya pernah memasuki rumah ini sebelumnya?” sesosok wanita berpakaian putih dengan wajah pucat tiba – tiba muncul di salah satu sudut rumah di dekat perapian yang penuh debu. “Si…apa kau?” tubuh Ibu Riska menggigil karena terkejut. Dalam sekejap, seluruh ruangan itu berubah layaknya rumah kayu yang selalu dirawat oleh pemiliknya. Ibu Riska yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu, beliau melihat Fino dan Fira berada di atas tempat tidur yang tak jauh dari tempatnya berdiri, tertidur dengan pulas. “Terima kasih banyak,” wanita itu tersenyum ramah di hadapan Ibu Riska. “Namaku Lisa, dan aku…” wanita itu melayangkan pandangan ke arah si kembar tertidur pulas, “adalah ibu kandung mereka.” Ibu Riska menganga mendengar perkataan wanita bernama Lisa itu.
Seolah – olah sebuah rekaman film berputar di otak Ibu Riska mengingat hal yang terjadi tiga belas tahun yang lalu. “Aku mengerti. Sebenarnya, kamu bukan orang yang jahat, kamu juga tak perlu menceritakannya, itu cerita lama,”  Lisa menghampiri si kembar yang sedang tertidur. Sambil duduk di dekat tempat tidur, wanita itu menceritakan kejadian yang terjadi pada dirinya. “Aku tidak pernah meninggalkan mereka, tapi nasib yang telah membuatku berpisah dengan mereka.”
“Apa yang terjadi?” Ibu Riska memberanikan diri untuk bertanya. “Suamiku telah lama meninggal, sedangkan aku hidup di rumah ini sendiri bersama satu – satunya milikku yang berharga,” Lisa tersenyum pahit sambil menatap wajah Fino dan Fira yang tertidur.
“Suatu hari, aku pergi ke hutan karena semua simpanan makanan yang kukumpulkan telah habis. Dan tentunya, bayi – bayiku tetap berada di sini…” Lisa bercerita sepertinya kejadian itu baru terjadi kemarin. “Lalu….di sudut hutan yang gelap, aku menemukan dua apel merah segar yang tergeletak di tanah. Sebelum sempat aku membawanya pulang, seekor beruang dengan wajah seram menyerangku secara tiba – tiba hingga lenganku terluka parah. Aku tersadar kalau apel – apel itu milik si beruang. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku berlari ke arah lain agar beruang tidak menuju ke rumah ini. Hal yang terlintas saat itu agar kedua bayiku selamat. Dan saat itulah, aku menghembuskan napas terakhirku. Karena kelelahan serta kehabisan banyak darah….” Dada Ibu Riska panas mendengar cerita Lisa.
“Sekarang, aku sudah bisa tenang melihat mereka berdua tumbuh dengan bahagia. Terima kasih. Selamanya, aku tetap menyayangi mereka. Tolong jagalah mereka…” Tubuh Lisa berpendar terang. “Tu…tunggu dulu. Aku masih ingin berbicara padamu...” Ibu Riska berlari mendekat ke arah Lisa. Setelah itu, seluruh ruangan bercahaya, meredup, lalu gelap. 
***

            “Dimana ini?” Fira terbangun. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Fino merasa kepalanya begitu berat untuk terbangun. “Mama?” Fino kaget melihat Ibu Riska, Mama bagi mereka berdua, memeluk erat Fino dan Fira. “Mama kenapa?” Fira melihat adanya gelagat aneh pada Mama. “Mama nangis?” Fino juga merasakan sesuatu yang aneh.
“Mama cuma kangen kalian. Sekarang kalian sudah berada di rumah. Papa baru saja keluar, membelikan kalian makanan,” Mama menghapus air matanya sambil tersenyum.
“Mama, waktu kami di hutan, kami bertemu dengan seorang bibi yang ramah,” Fira mulai menceritakan apa yang dialaminya. Fino ikut menambahkan, “Suaranya sangat merdu, terus dia mengajak kami ke rumahnya. Terus, dia membuat teh yang enak.” Fira melanjutkan ceritanya, “Ternyata, bibi itu tidak tinggal sendirian. Dia punya anak, katanya kembar kayak kami. Tapi, anaknya menghilang. Biar dia tidak rindu mereka, dia sering bernyanyi tiap bulan purnama.”
Mama hanya mendengarkan cerita mereka berdua, memperhatikan ekspresi serius mereka waktu bercerita. “Lalu?” Mama memasang wajah penasaran di hadapan Fino dan Fira.
“Kami tahu lagunya!” kata si kembar hampir bersamaan. “Bibi itu yang mengajari kami beberapa bagian dari lagunya, dengar baik – baik yah…!” Fira menoleh pada Fino, mereka berpandangan sebentar, lalu bernyanyilah mereka.
‘arigatou... arigatou, kono yo ni watashi o unde kurete’
(Terimakasih...karena membawaku ke dalam dunia ini)
‘arigatou... arigatou, isshoni sugoseta hibi o’
(Terimakasih... untuk hari - hari yang kita habiskan bersama-sama)
‘arigatou... arigatou, anata ga watashi ni kureta subete’
(Terimakasih... karena segala yang telah kamu berikan padaku)
‘arigatou... arigatou, eien ni utau’
(Terimakasih... aku akan bernyanyi dalam keabadian)
Ichidome no kiseki wa kimi ga umareta koto’ (Keajaiban yang pertama adalah bahwa kamu dilahirkan)
‘Nidome no kiseki wa kimi to sugoseta jikan’ (Keajaiban yang kedua  adalah saat bersamamu)
‘Sandome no kiseki wa mirai no kimi kara no magokoro’ (Keajaiban yang ketiga adalah hati yang tulus dari masa depan)
‘Yondome wa iranai yondome wa iranai yo’ (Yang keempat tidak ada, tidak perlu ada yang keempat)
‘Arigatou...’ (Terima kasih…)
Mama meneteskan air mata ketika mereka menyelesaikan nyanyiannya. “Kalian adalah hadiah yang paling indah,” kata Mama yang terucap saat memeluk mereka.
***

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲